PAKAIAN
ADAT BATAK
Ulos merupakan
pakaian adat dari Sumatera Utara. Ulos adalah kain tenun khas Batak,
yang secara harfiah berati selimut yang menghangatkan tubuh; melindungi dari
terpaan udara dingin. Ulos bisa merankan berbagai fungsi sandang, sebagai selendang,
sarung, penutup kepala, dan lain sebagainya. Hari ini, Ulos masih lestari di
lingkungan masyarakat Sumatera Utara. Ulos telah dengan mulus berakulturasi
dengan berbagai jenis sandang modern, seperti kemeja dan jas.
Ulos
dianggap sebagai peninggalan leluhur orang Batak, yang merupakan bangsa yang
hidup di dataran-dataran tinggi pegunugan. Dengan maksud tetap menjaga tubuh
tetap hangat, kain Ulos mereka kenakan untuk menghalau dingin selama mereka
berladang dan beraktivitas lainnya. Konon, dari tradisi ini juga lahirnya
uangkapan bahwa, bagi leluhur orang Batak, ada tiga sumber yang memberi
kehangatan pada manusia, yakni matahari, api dan Ulos. Jika sumber panas
matahari dan api terbatas oleh ruang dan waktu, maka tidak demikian dengan
Ulos, yang bisa memberi kehangatan kapanpun dan dimanapun.
Ulos
dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, dari mulai sebagai kain penutup kepala,
penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan
lain sebagainya. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan
jenis yang berbeda-beda, misalnya pada masyarakat Batak Simalungun, Ulos
penutup kepala wanita disebut suri-suri, Ulos penutup badan bagian bawah
bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian
sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian pengantin Simalungun
juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut dalihan natolu,
yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup
bagian bawah (sarung).
Muhar
Omtatok, salah seorang Budayawan Simalungun, berpendapat bahwa, awalnya Gotong
(Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap
(Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun
kemudian, Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari tren
penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran
pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian orang Simalungun dewasa ini
suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.
Sementara,
Ulos penutup kepala pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan
Sorotali. Sortali itu sendiri adalah ikat kepala yang fungsinya seperti
mahkota. Biasanya dibuat dari bahan tembaga yang disepuh dengan emas, lalu
dibungkus dengan kani merah. Sortali ini digunakan pada pesta-pesta besar.
Sortali digunakan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi sama seperti ulos,
penggunaan sortali tidak sembarangan dan memiliki aturan sendiri. Masyarakat
Batak Toba mengenal setidaknya 24 jenis Ulos, yakni:
- 1) Pinunsaan,
- 2) Ragi idup,
- 3) Ragi hotang,
- 4) Ragi pakko,
- 5) Ragi uluan,
- 6) Ragi angkola,
- 7) Sibolang pamontari,
- 8) Sitolu tuho nagok,
- 9) Sitolu tuho bolean,
- 10) Suri-suri na gok,
- 11) Sirara,
- 12) Bintang maratur punsa,
- 13) Ragi huting,
- 14) Suri-suri parompa,
- 15) Sitolu tuho najempek,
- 16) Bintang maratur,
- 17) Ranta-ranta,
- 18) Sadun toba,
- 19) Simarpusoran,
- 20) Mangiring,
- 21) Ulutorus salendang,
- 22) Sibolang resta salendang,
- 23) Ulos pinarsisi, dan
- 24) Ulos tutur pinggir.
Bagi sebagian pemakainya, Ulos, atau Uis menurut orang Batak
Karo, lebih dari sekedar kain sandang, melainkan benda bertuah yang mengandung
unsur-unsur magis. Tak jarang, Ulos dianggap memiliki daya yang mampu
memberikan perlindungan pada pemakainya.
ARTI ULOS
Mangulosi
adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap
kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu
menjadi bagian adat yang selalu di ikut sertakan.
Menurut
pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi
tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih
hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.
Demikian
juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di kelilingi
dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar
untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang
dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.
Ada 3 hal
yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia,
yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu
kebutuhan yang setiap saat di dambakan.
Ada 3
“sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari,
api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api
dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan
menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga
tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis
digunakan di mana saja dan kapan saja.
Ulos pun
menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana
saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah
masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam
aturan adat, antara lain :
- Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
- Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).
Sedangkan menurut penggunaanya
antara lain :
- Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
- Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
- Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.
Saat ini
kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat
beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi
kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Tetapi
Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya
batak.
Namun ini
juga menjadi tantangan bagi budaya batak di masa depan, karena cara pandang dan
penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang
sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak
kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih
parahnya setelah kain tersebut di gunakan dalam acara adat yang melelahkan
kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.
Sangat
berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin
menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat. Jangan-jangan yang terbayang
dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara
adat yang melelahkan, njelimet adatnya, pusing karena gak tau bahasa batak,
malu karena gak pinter martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau
keturunan).
Akan
sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi
generasi muda masa depan. Seperti masalah ke uangan, penggunaan waktu,
perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang
mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar